Berita:

Projek aktif: RPG OJ v0.3
Projek sampingan: Zion TCG, SETH
Projek ditunda: Tales of Another Journey

Main Menu

Fragments

Dimulai oleh akina, 11 April 2009, 09:38:34

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 2 Pengunjung sedang melihat topik ini.

akina

Prolog

Kabut tipis seperti serabut kapas terbang beberapa senti dari kulit bumi. Seperti selubung tipis kain transparan yang memburamkan pandangan, kabut itu turun bersamaan dengan bisunya malam. Desir angin yang perlahan menghembus membawa sejuta perasaan beku dan seolah siap menelan siapapun masuk ke dalam relung keputusasaan yang dalam, bisik-bisik Kematian seolah datang mendekat bersamaan dengannya.


Terdengar bunyi jubah berdesir diantara daun-daun mati di lantai hutan. Perlahan, sesamar bayangan hitam sosok seorang wanita berjubah hitam terlihat menyebrangi lantai hutan yang begitu sedikit diterangi cahaya bulan purnama. Langkahnya jenjang, tanpa terlihat adanya gemetar. Sosok itu terus berjalan.


Diantara minimnya cahaya bulan dan selaput tipis kabut buram, tampak sebuah jalan setapak kecil yang membelah dedaunan kering yang berserakan dilantai hutan. Jalan kecil itu disebelah kanan dan kirinya dibatasi semak-semak berduri yang tumbuh liar. Beberapa kali kulitnya yang putih nyaris berpendar temaram di kegelapan itu terlihat timbul tenggelam seturut ujung jubahnya berkepak-kepak di sekeliling pergelangan kakinya selagi berjalan.


Di sana, di tepi ujung tebing itu berdirilah seorang lelaki. Rambutnya panjang berwarna keperakan. Jubah putihnya panjang nyaris menutupi seluruh tubuhnya penuh bercak darah. Nampaknya lelaki itu tengah menunggu sesuatu.


Dadanya kembang kempis, penuh dengan gairah yang seketika menggelak.Dia menghela napas sejenak, berusaha menenangkan diri. Kemudian perlahan dia menghampiri lelaki itu dalam diam.


“Aku tidak pernah menduga kau akan datang ke tempat ini, Ishvana..”


Sosok berjubah hitam itu menghentikan langkahnya. Dia tahu, batinnya. Ya, bodoh benar untuk berpikir bahwa dia tak tahu akan kedatangannya. Dia selalu tahu, dan dia mungkin tahu tujuan kedatangannya.


Lelaki itu menoleh. Seketika, jantungnya bergemuruh. Sensasi yang sama seperti setiap kali dia memandang lelaki itu, menyusup melewati pikiran rasional yang dia coba untuk pertahankan.


Elliot selalu nampak luar biasa tampan. Kulitnya putih seolah berpendar diantara selimut malam. Matanya biru, sebiru dasar lautan. Menatap mata itu dengan seksama akan membuat setiap orang kehilangan dirinya sendiri. Rambut peraknya panjang, melambai seturut angin malam. Entah berapa lamanya dia membiarkan rambutnya tumbuh sepanjang itu.


Namun ada sesuatu yang jelas berbeda dari dia yang biasanya. Dia nampak begitu dingin. Begitu penuh dengan penyesalan.


“Apa dia yang menyuruhmu datang padaku?”


Ishvana mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk, tiba-tiba dia menjadi tertarik pada tepi jubah bawahnya.


Elliot menghela napas. Tak menunjukkan seguratpun keterkejutan di air mukanya. “Dia memberikan perintah padamu untuk membunuhku?”


“Tidak!” pekik Ishvana segera. “Dia tidak mungkin memberikan perintah itu.”


“Tidak mungkin? Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu?” tanya Elliot heran.


“Karena...” Ishvana berhenti sejenak, mencoba mencari-cari kata yang tepat. “Karena Dia mencintaimu, Elliot.”


Tatapan Elliot meredup. Dia mengalihkan tatapannya ke kabut tipis yang perlahan berarak menghilang dari pandangan. Jantung Ishvana mencelos ketika ia mengikuti arah pandangan Elliot.


Kabut itu meninggalkan pemandangan lain. Reruntuhan ibukota kekaisaran penuh dengan mayat-mayat manusia tampak mengerikan dari atas tebing tempat Elliot berdiri. Mungkin tiga puluh ribu, atau sekitar lima puluh ribu mayat manusia tersebar menutupi setiap inci ibukota. Burung-burung Charogniee, pemakan bangkai yang semula terbang melingkar di langit mulai turun mencabik makanan mereka.


“Katakan sejujurnya padaku, Ishvana...” ujar Elliot tak melepaskan tatapannya dari pemandangan itu.
“Apakah ini termasuk dalam rencananya?”

Ishvana tertegun. “A-aku.. tidak bisa memberikan jawaban...”

“Yeah, aku mengerti,” gumam Elliot, lebih kepada dirinya sendiri. “Kita hanya pion. Tak berhak untuk bertanya ataupun memberikan jawaban....”

“Elliot..”

“...rencana yang brilian seperti biasanya,” ujarnya dingin.

Ishvana tahu apa yang ada di balik nada dingin Elliot. Amarah, kebencian dan kepedihan mendalam bercampur menjadi satu. Dia mengerti itu. Perasaan dikhianati, perasaan sendiri, dia kenal semuanya itu. Dia tahu apa yang kelak akan diperbuat perasaan-perasaan itu. Perlahan mereka akan mendorong Elliot ke dalam jurang gelap dan dingin. Membuang Elliot dalam keputusasaan yang semakin menggerogoti pikirannya.

Tangan Ishvana menggapai sosok Elliot, memeluknya penuh simpatik. Ishvana tahu perbuatannya tidak akan berarti. Malah mungkin terlalu menggelikan, namun dia ingin Elliot tahu bahwa dia tidak sendiri. Ishvana ingin menolongnya seperti yang pernah dilakukan Elliot padanya dulu.

Elliot tidak berkeberatan. Sebaliknya, ada sebuah perasaan hangat yang menjalar tepat menuju hatinya. Mengesampingkan hal itu, satu pertanyaan tetap tinggal dan mengusik benaknya.

Sebenarnya, apa yang tengah direncanakannya?

..................................................................

Jauh ke dalam Serpentine Forest yang penuh dengan kengerian, sunyi yang tak lazim merayap. Seekor tupai mendongakkan kepalanya dari atas pohon. Bulan purnama merah balas menatapnya dari atas sana. Benda bundar itu teguh menerangi malam yang suram seperti sekarang, tanpa mempedulikan raungan serigala yang menakut-kan dan membuat bulu kuduk berdiri.

Tupai itu tersentak kaget. Buru-buru ia meloncat dari atas pohon dan berlari menembus semak-semak lalu menghilang. Dari sebelah timur terlihat segenggam cahaya yang makin lama makin membesar. Jelaslah, cahaya itu menuju ke tempat ini. Cahaya-cahaya lain bermunculan mengikuti cahaya pertama. Setelah beberapa waktu memperhatikan cahaya itu meredup dan membesar lagi, langkah-langkah semakin terdengar. Berikutnya sepasang kaki menghimpit semak-semak, dan sosok berkerudung menjejakkan kakinya di tempat ini. Mukanya tertutup oleh kerudungnya yang ditarik sampai menghalangi mata.

“Di mana gerangan perempuan jahanam itu....?” tanyanya entah kepada siapa. “Bagaimana, Levi? Kita kehilangan jejaknya!”
Sosok berkerudung lain menjejak tanah di sebelah sosok itu. Dan beberapa yang lain lagi bermunculan. Semuanya membawa obor.

“Sepertinya bukan ke arah sini,” kata suara mendesak. “Sudah kubilang, dia pasti berlari ke balik pepohonan yang tadi kita lewati!”

“Jadi bagaimana?!” bentak sosok berkerudung yang pertama kali berbicara tadi. “Kita tidak mungkin melepaskan anak itu! Ingat, dia mengancam kita tidak boleh kembali dengan tangan kosong!”

“Aku berpendapat dia akan cukup senang mengetahui ketiga onggokkan sampah itu lari ke Serpentine Forest,” kata suara yang jauh lebih tenang. “Tidak ada yang bisa kembali dari hutan ini utuh. Tempat ini berbahaya.”

Sosok berkerudung yang lain terhenyak. “Yeah, Melvin. Mungkin kau benar.”

“Kenapa dia begitu menginginkan anak itu?” tanya suara yang lain.

“Jelaslah! Itu karena anak itu merupakan ancaman. Malapetaka!”
Sosok berkerudung yang berdiri paling dekat dengan pohon tempat tupai tadi meloncat menggeleng. “Tidak. Kurasa bukan itu. Tapi Kelula tidak begitu terkejut waktu mereka tahu Kaisar yang baru akan mengutus kita untuk menghabisi anak itu. Dia dan Filistus pasti sudah menduganya.”

“Yeah... rasanya seperti itu,” kata sosok yang berdiri dua meter di seberang-nya. “Lebih baik bicarakan di tempat lain. Aku tidak suka tempat ini...”

“Apa kau ketakutan, Clove?” Levi tertawa mengejek. “Apakah Clovie kecil takut mendengar raung serigala?”

“Tentu saja tidak. Hanya saja....”

“Menurutku Clove benar,” salah satu dari mereka meninggalkan tanah ini. “Lebih baik segera pergi, Levi. Sejujurnya aku cemas sesuatu akan muncul dari baik pepohonan.”

Levi mendengus. Teman-temannya yang lain segera mengikuti Clove meninggalkan tempat ini satu-persatu.

Sebelum benar-benar beranjak, Levi memandang lurus ke depan. Dia menengadahkan wajahnya yang keras tertimpa berbagai pengalaman mengerikan dalam hidupnya dan memandang bulan dengan ekspresi tak bisa dibaca.

“Selamat tinggal, Kelula...” dengan mengucapkan dua patah kata itu, Levi menyeringai dan membalikkan badannya. Bunyi daun gugur berkeresakkan ketika ujung jubahnya terseret-seret di tanah. Levi menghilang dalam kegelapan malam... Perlahan, cahaya obor yang menerangi gulitanya malam memudar.

Mereka tidak menyadarinya. Di balik bayang gelap semak seorang perempuan menghela napas berat. Sepeninggal ketiga lelaki itu, akhirnya dia bisa bernapas dengan lega. Kaki kanannya sobek. Beruntung darah yang keluar dari luka tersebut tersamarkan dengan bau kumpulan bunga Revaldias yang menyengat.

Dia memang berhasil menghindari kejaran ketiga orang itu, namun perempuan itu tahu bahaya tidak akan semudah itu untuk dipahami. Bahaya akan selalu ada. Dan bahkan akan merenggut nyawanya.

Perempuan itu memandang bungkusan yang di dekapnya erat-erat semenjak keluar dari ibukota. Wajah terlelap seorang bayi laki-laki nampak dari balik kain linen yang menghangatkannya. Seketika dia meneteskan air matanya.

Mungkin bukan dia yang melahirkan anak itu, namun dia merasa berhak. Dia merasa penuh dengan perasaan pedih yang sama dengan ibu dari anak itu. Esok pagi anak itu akan membuka matanya, mencari-cari sosok ibunya tanpa tahu bahwa ibunya telah tewas di bunuh.

Perempuan itu menengadah, menatap taburan bintang di langit, penuh pengharapan. “Elrandis... Setidaknya, berikanlah perlindunganmu terhadap anak ini,” ujarnya lirih. “Hanya anak inilah satu-satunya yang dapat ku selamatkan. Jangan biarkan dia membenci kehidupannya kelak.”

.................................................................

Tahun 456 Kalender Matahari

Dyphan, ibukota kekaisaran yang berdiri megah diatas tiang penyangga alam, berubah menjadi reruntuhan.
Mereka mengatakannya sekali, bahwa Alastair yang agung dari kaum Vioneth dengan kejam membantai kaisar kami.

Memimpin lima puluh ribu pasukan, kudeta di laksanakan.
Tak dapat dihindari, seluruh rakyat Dyphan terbunuh malam itu.

Harapan pernikahan Queen Sapphire muda, saudara perempuanku, musnah bersamaan dengan tercecernya darah Frambrant di tanah Dyphan.

Putra tertua sang Kaisar menghilang, sementara saudaranya ditelan kengerian Serpentine Forest yang terkutuk bersama hamba perempuan Queen Sapphire, Lady Kelula.

Inilah titik tergelap kekaisaran.

Alastair memimpin kami. Membubuhkan gelar Kaisar atas namanya.

Hukum berubah.

Ark musnah

Darah para pengikut setia sang Kaisar tercecer
Kepala mereka dipamerkan di tembok ibukota yang baru

Hal yang sama berlaku bagi yang tak sejalan dengan Alastair sang Kaisar yang baru
Seluruh Shireval di hantui mimpi buruk

Kami semua berada di ujung keberadaan kami, berharap Evestarl akan datang dan menyelamatkan kami.


―Nehemiah Marquidlevan Noel VIII―
Requiem of the Empire, chapter 04
"...Helniara er Tara. Within your pain, i exist..."

Èxsharaèn

Hmm... nggak tahu ya, tapi menurutku setting-nya fantasi. Konfirm dulu...

Kalau benar fantasi, kupindah ke Book of Goodness. Kalau bukan, ya tetap di sini :D
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

akina

wah kalo fantasi di situ yah?? kupikir disitu tempat petinggi2 bercerita... aduh gomenasai admin :D
"...Helniara er Tara. Within your pain, i exist..."

Èxsharaèn

Nggak juga, kan ada satu dua member yang nulis di sana. Aku sendiri nggak nulis di sana lho ;)

Kalau gitu ini kupindah ke sana ya :)
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

saint_eve

wow cc wow,,lanjutin lagi plis,,^^