Berita:

Update RPN OJ forum! Petualangan keenam kelompok Trihörrèan di Kerajaan Líghtran berlanjut. Sanggupkah mereka mengakhiri masalah di Líghtran? Baca rangkuman kisah maraton sesi terakhir di sini dan lanjutkan petualangan mereka.

Main Menu

Apa itu "rumah" setelah tinggal di luar negeri?

Dimulai oleh Èxsharaèn, 07 November 2013, 02:30:45

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Èxsharaèn

Sebenarnya ini salah satu save point-ku, tapi rasanya bakal lumayan panjang.

Nemu bacaan ini dari FB: 23 hal tersulit tentang "pindah rumah" setelah tinggal di luar negeri. Selama tinggal di Singapura selama hampir 1,5 tahun (dan mungkin bakal tinggal untuk setengah tahun lagi, kecuali studiku untuk sebulan ke depan sukses), awalnya aku merasa lumayan kesulitan untuk bisa menganggap Singapura ini "rumah kedua." Pertama kalinya jauh dari keluarga dan teman, ga tahu apa yang harus dilakukan sendiri. Dan berhubung kosku tidak mengizinkan masak, jadilah tiap hari harus keluar cari makan. Yang pernah mengalami harus kos di sebuah kota yang jauh dari rumah (nggak perlu lintas negara lah, lintas pulau saja) pasti tahu pengalaman ini. Punya dua rumah, lalu setelah beberapa saat mulai terbiasa dengan rumah kedua sampai akhirnya secara tidak sadar kita mulai bingung sendiri, mana yang betul-betul disebut "rumah."

Beberapa poin bisa kukutip di sini berdasarkan pengalaman.
Kutip2. Occasionally messing up your speech patterns and using strange syntax because your brain is, in many ways, still working in the second language and you don't quite know how to change directions without throwing everything into reverse.
Singlish! Satu hal yang kubenci dari Singapura, walaupun kadang-kadang aku ya menikmati Singlish: bahasanya. Karena ada bahasa Melayu dan Inggris, sejak tinggal di sini bahasa Inggris-ku jadi kacau balau kalau harus bicara dengan seseorang (kecuali saat presentasi). Mungkin gara-gara terlalu terpapar bahasa Inggris baku jadinya ketika harus berbicara tidak baku, kagoknya luar biasa ("having here" untuk "dine-in" atau "package" untuk "take away"? "It's finished" untuk bilang jualan habis?). Belum lagi campuran bahasa Hokkian yang sampai sekarang aku bingung pakainya. Belum lagi logatnya; aku punya "kebiasaan" untuk terbawa logat lawan bicara (misalnya saja, aku fasih berbahasa Jawa Surabaya, yang terasa lancar, tapi begitu bicara dengan orang Madiun, langsung ikut "medhok"). Hanya ketika aku bicara dengan teman sekamar saja semuanya kembali lancar, tapi ketika beli makan aku pakai logat Singlish (atau malah pakai bahasa Melayu ketika aku tahu persis yang jual ngerti bahasa Melayu), dan baru kembali ke logat Inggris Amerika ketika misa di gereja. Entah kenapa semuanya sulit sekali dikontrol, tapi kurasa itu memang kekuatan otak, bisa beradaptasi sendiri tanpa harus disuruh :D

Kutip3. The three or four food items that — beyond just being the overall cuisine that you miss — had come to be your diet staples that you don't really know how to live without anymore.
Lombok!!!!! Di sini sulit sekali menemukan makanan yang benar-benar pedas dan berbumbu :( bahkan mereka yang jual makanan Indonesia rasanya sudah dimodifikasi untuk lidah lokal, jadi beda jauh dengan makanan yang sama di Surabaya (ayam penyet, gado-gado, tahu telor, dsb.). Cuma ada satu restoran, yang baru saja buka beberapa bulan lalu (bersamaan dengan mal baru), yang mampu membawa cita rasa itu kembali. Walaupun itu harus dibayar dengan harga mahal (sekali makan aku bisa habis sekitar S$25-35), jadi terpaksa makan di sana adalah "kemewahan akhir pekan".

Kutip6. Trying to explain to someone who is going on a vacation to your city all the things they absolutely have to do and realizing that a) it's impossible to do all of the things that you want them to do in any reasonable frame of time and b) you're probably just confusing them with all of your overwhelming, sometimes incoherent advice.
Betul sekali :D ketika ada yang mau ke sini dan dia hanya bilang "paling dua atau tiga hari," reaksi pertamaku pasti "ga bakal selesai kamu menikmati Singapura!" Dan seringnya aku ngasih saran seabrek sambil menyuruh dia (atau mereka) untuk perhitungkan perjalanan baik-baik, karena waktu banyak terbuang di perjalanan. Itu pun selama 1,5 tahun di sini aku masih belum selesai mengunjungi beberapa tempat populer di Singapura, termasuk Universal Studio :P

Kutip7. Becoming incredibly jealous of anyone who is going there on vacation, because you wish so badly that you could be going (and part of you selfishly believes that they'll never appreciate it enough, or in the right way).
Entah berapa kali aku iri sama seseorang yang pasang status "otw Surabaya" dan mengutuk dalam hati kalau mereka komen yang aneh-aneh. Terakhir, iri pol ketika ceceku bisa pulang ke Surabaya karena ada pesta pernikahan.

Kutip8. Suddenly remembering all of the "touristy" things you never took the time to do — monuments you didn't see, museums you didn't tour — because you told yourself you would get to it next month, next year, someday.
Masih penasaran sama wisata hutan bakau (padahal nggak terlalu jauh dari rumah!).

Kutip9. Having Skype sessions with people back there and wishing you could reach through the screen and give them a hug, or grab something off of their plate that you haven't gotten to eat in forever.
Untungnya akhir-akhir ini papaku malas nyalain komputer, jadi kalau telepon tidak pernah menyalakan panggilan video :D

Kutip10. No longer living in your adopted language, where every cultural reference is a new gift to be discovered, and you pick up expressions and slang like a child finding shells along a beach.
Untungnya, walaupun cuma bisa berkomunikasi secara tertulis, bahasa ibuku masih lancar :D dan teman sekamar akhirnya "terpaksa" ngomong pakai logat Surabaya, walaupun dia bukan dari sana :P

Kutip15. Getting so frustrated when people tell you how "lucky" you were to live abroad, when you know intimately how much tedious paperwork, hard work, and trying in the face of rejection it actually required. You know how little of it actually has to do with luck, especially when you're actually working in your adopted country.
Ini yang kadang-kadang menyebalkan. Tinggal di negara lain mungkin menyenangkan kalau itu liburan, tapi kalau kamu harus sekolah atau kerja di sana dalam waktu lama, bisa jadi itu nggak semenyenangkan yang kaukira. Untuk beberapa orang, mungkin menyenangkan, tapi buat aku, lebih menyenangkan kerja di Surabaya.

Kutip16. Experiencing these weird, listless times where all you want to do is listen to music and watch movies from that country so you can feel, if only for a minute, like you're back there.
Kadang terasa aneh kalau sempat melihat ada sinetron Indo diputar di TV Melayu sini :D

Kutip20. Spending way too much of your hard-earned money at speciality stores that carry the stuff you simply can't live without, and hating yourself every time you drop 10 dollars on something that was 2 dollars back there.
Berhubung secara umum harga di sini tiga kali harga di Surabaya, nggak pernah mikir dah :D untung barang-barang tertentu bahkan aku sering menghabiskan total hampir S$100 (dan memang worth it). Jadi, untuk yang satu ini, Singapura memang menang dari Surabaya.

Kutip22. Occasionally slipping in an expression or word from that language, without meaning to, into an otherwise English sentence (and knowing that everyone thinks you're really pretentious for doing it, even though it was completely an accident).
Ini kejadian sekali, ketika akhirnya aku ngobrol cukup panjang dengan seseorang dengan bahasa Melayu, dan apalagi dia tahu aku bisa berbahasa Jawa. Keselip kata "anu" ;D

Kutip23. Realizing that you're not really sure what "home" is anymore, because even though this is technically where you come from, you're not sure you fit into the shape of the puzzle piece that you left behind. In a lot of ways, your time abroad felt much more like home, and maybe you won't ever really feel settled until you can actually call it that — even if you're all too familiar with how difficult immigration is. Being where you belong, maybe not today but someday, is something you're willing to work for.
Menjelang akhir studi seperti ini, aku mulai berpikir, "bakal kangen kos nih." Kemarin waktu liburan tiga bulan di Surabaya pertengahan tahun lalu, akhirnya aku kangen Singapura! Kangen naik MRT, naik bis, pergi ke Kinokuniya dan buang-buang uang di sana (sangat mustahil untuk pergi ke Kinokuniya dan tidak beli apa-apa sama sekali :D), main arkad di mal seberang stasiun MRT (ini bakal menyengsarakan kalau balik ke Surabaya for good), dan bahkan aku kangen mi ayam seberang kos! Kangen pemandangan gemerlapnya gedung-gedung tinggi ketika pulang saat matahari terbenam, jalur khusus pejalan kaki, dan banyak lagi. Akhirnya, setelah sekian lama, aku bingung juga mana yang disebut "rumah."

Yah, walaupun memang "hanya" 1,5 tahun, rasanya itu cukup untuk mengalami banyak hal. Mulai dari membawa orang tua pertama kalinya ke negeri orang dan harus memandu mereka sampai ke kos (yang aku bahkan nggak tahu tempatnya di mana), mempersiapkan barang-barang untuk kehidupan sehari-hari, sampai akhirnya mengantar mereka kembali ke bandara (dan harus kutitipkan ke seseorang yang juga ke Surabaya karena orang tuaku tidak bisa bahasa Inggris). Saat akhirnya harus berpisah pertama kalinya untuk waktu lama, momen itu rasanya paling sulit untuk dihadapi. Menghadapi kekosongan hari-hari pertama sendirian di kos, mengobati batuk dan pilek sampai akhirnya harus ke klinik sendirian (gugupnya luar biasa waktu harus ngomong ke dokter). Masuk kelas pertama, terasa begitu sendiri dan asing. Bingung harus cari makan, dan akhirnya setelah bosan malah tidak makan sama sekali. Bingung cari kelompok untuk projek, walaupun akhirnya nemu (dan lega sekali ketika akhirnya nemu satu orang Indonesia!). Menghadapi PR dan ujian yang ternyata luar biasa beda dengan kuliah S1 dulu. Menghadapi dapat nilai jelek, bahkan projek nol, sampai akhirnya dapat IP di bawah batas aman dan dapat status terancam DO. Merasa luar biasa ketika akhirnya ada alumniku yang mau nyusul kuliah dan akhirnya sekamar. Merasakan harus berbagi kamar yang semula kutempati sendiri. Mengakhiri semester dua dengan nilai meningkat, walaupun belum lepas dari masa percobaan. Bisa membawa orang tua kembali ke Singapura, bahkan tepat waktu ulang tahun.

Dan akhirnya, sekarang sudah masuk akhir pekan kedua belas. Empat pekan terakhir bakal sangat menentukan. Setelah itu? Entah apakah aku akan benar-benar merindukan kos (dan Singapura secara umum) atau tetap menganggap bahwa Surabaya adalah rumahku. Karena sekarang, aku punya dua rumah.
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Kenapa kata "rumah" tidak boleh digunakan di lebih dari satu lokasi? Buat aku, kamu bisa saja menganggap surabaya sebagai rumahmu, dan singapur juga rumahmu. Bedanya, rumah mana yang kamu lebih suka, dan rumah mana yang khusus untuk liburan :D
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Soalnya di sini ngekos, jadi bukan rumah :D lain ceritanya kalau aku punya rumah sendiri, mungkin bisa jadi aku bakal menganggap Singapura ini rumah kedua. Ya memang sesekali dititipi sama yang punya kos, tapi sampai hari ini mereka baru dua kali nitip rumah, itu pun ga ada satu pekan. Ga sebebas seperti punya rumah sendiri :D
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Kan definisi "rumah" bukan dalam arti benda fisiknya.....
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Lho aku mengambil definisi nonfisik ini: Surabaya itu home, tapi Singapura masih sekedar house, belum home :D

Makanya ada istilah There's no place like home. Kamu sendiri sekarang juga lebih suka tinggal di kota asalmu kan? For without hearts there is no home. Pemahamanku tentang rumah mungkin beda dengan pemahamanmu; menurutku kalau nggak ada rumah (atau tempat tinggal) sendiri, itu belum bisa didefinisikan sebagai rumah (home), sekerasan apapun di tempat itu. Aneh aja kalau aku mengatakan Singapura itu home tapi kelak waktu aku ke sana tinggalnya di hotel (dan pasti itu kejadiannya). Rumah untuk liburan? Itu vacation house, kecuali kalau punya rumah sendiri, baru aku bisa bilang vacation home :D
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Di tulisan asalmu, kamu gak membedakan antara house dan home :D
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Terjemahannya kan sama, lagian sudah dikasih tanda kutip tuh :D
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen