Berita:

Update RPN OJ forum! Petualangan keenam kelompok Trihörrèan di Kerajaan Líghtran berlanjut. Sanggupkah mereka mengakhiri masalah di Líghtran? Baca rangkuman kisah maraton sesi terakhir di sini dan lanjutkan petualangan mereka.

Main Menu

Pernahkah terpikir untuk bunuh diri?

Dimulai oleh Èxsharaèn, 21 Maret 2023, 11:39:00

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Èxsharaèn

Tadinya mau kutaruh di Have Fun menyambung save point-ku, namun setelah kutimbang-timbang lagi, hal ini agak sensitif, jadi kutaruh sini saja deh...

Pernahkah kalian ada yang punya pikiran untuk bunuh diri?

Sejauh yang aku tahu, di negara maju, ini adalah sesuatu yang sangat serius yang benar-benar diperhatikan, bahkan sudah ada hotline khusus untuk penanganan/pencegahan bunuh diri. Di Indonesia, sayangnya, hal ini masih dipandang terlarang atau tabu. Yang ada, biasanya kita akan mengolok-olok seseorang, ah kurang iman lu!, sampai akhirnya yang bersangkutan benar-benar bunuh diri, lalu kita menyesal di media sosial, dan kemudian tetap fokus dengan kehidupan kita sendiri. Tragis? Tentunya.

Nah, aku akan menceritakan pengalamanku sendiri memiliki pemikiran untuk bunuh diri, yang untungnya belum satu pun yang pernah terlaksana. Memang berapa kali pernah berpikiran begitu?

Tiga kali. Yup, you heard it right, bukan cuma sekali, bukan cuma dua kali. Paling tidak tiga kali. Ini sudah kusederhanakan ya, berdasarkan pemicunya, jadi mungkin jumlah sebenarnya lebih banyak dari itu. Namun, yang kuingat paling kritis ada satu, karena saat itu emosiku benar-benar meluap-luap dan aku hidup sendiri di lantai atas apartemen--risiko tinggi ya kan? Jadi, apa saja pemicuku?

Pertama: drop out.
Ya, aku pernah DO (ternyata ada entri save point-nya di sini ^^; ). Saat itu aku merasa down banget, kecewa dengan diriku sendiri, sudah mengecewakan orang tua dan rekan-rekan di kantor, serta ketakutan karena ada klausul di kontrak studi lanjutku, kalau tidak lulus harus mengembalikan biaya kuliah dan biaya macam-macam. Jadi, saat itu pernah terbersit di pikiran: gimana kalau aku lompat dari atas bangunan kosku. Itu saat pertama aku punya pikiran untuk bunuh diri, walaupun hanya sepintas. Untungnya, orang tua dan teman-temanku semuanya mendukung, walaupun setelah dipikir-pikir lagi, ada kesalahan fatal yang kulakukan dan penyebabnya ada hubungannya dengan permasalahanku yang kedua--sebaiknya tidak kusebutkan dulu di sini.

Kedua: perceraian.
Ini berat sih memang, dan awal-awal aku banyak dilingkupi rasa bersalah, namun pemikiran untuk bunuh diri sebenarnya bukan datang saat itu juga. Hampir dua tahun berlalu sejak aku berpisah--entrinya ada terpisah di blogku kalau ada yang tertarik baca--tiba-tiba Stãsh mengabarkan kalau mantanku ternyata ketemuan dengan selingkuhannya, karena diposting eksplisit di Instagram. Seharusnya di masa itu aku sudah cukup menerima bahwa perselingkuhan itu nyata, namun ternyata aku tidak siap dengan kabar itu. Inilah trigger terhebat yang pernah mendorongku untuk bunuh diri: beberapa saat setelah aku dapat kabar itu, aku cerita ke teman-temanku yang kupercaya, tapi akhirnya aku meledak juga secara emosional. Dorongan untuk lompat dari balkon mendadak sangat kuat waktu itu, namun untungnya aku cepat sadar dan secara sadar pula memilih untuk menelepon salah satu temanku. Aku tidak pernah bertelepon dengan teman-temanku, jadi aku juga heran kenapa aku bisa mengambil keputusan itu. Untungnya niatku untuk bunuh diri dengan cepat mereda, walaupun aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan pulih dari kejadian itu.

Ketiga: kena tipu.
Ini belum ada entri save point-nya secara lengkap, aku jujur saja menunda-nunda karena menyakitkan banget (aku belum siap untuk menghadapi after effect-nya lagi kalau harus menulis entri save point tentang kejadian itu) dan efeknya terasa sampai sekarang ^^; intinya aku tertipu sehingga kehilangan seluruh tabunganku hasil kerja kerasku selama lebih dari sepuluh tahun (hampir dua ratus juta). Semuanya itu hilang hanya dalam hitungan bulan. Si penipu sih menjanjikan akan mengembalikan, tapi kalian tentunya tahu ini sebuah hal yang bisa dibilang keajaiban kalau sampai terjadi. Awal tahun ini dia berhasil menipuku lagi, dan itu cukup memicuku untuk bunuh diri lagi, sebelum akhirnya aku sadar dan memilih pulang ke rumah untuk mengaku ke orang tuaku. Ceritanya panjang, dan bukan fokus dari tulisan ini, semoga aku akhirnya punya keberanian untuk menulisnya suatu saat nanti.

Lalu, bagaimana hingga akhirnya aku bisa tetap hidup untuk berbagi tulisan pengalaman ini?

Well, kalau dipikir-pikir, semuanya sebenarnya kembali ke diriku sendiri dan tentu saja support system di sekitarku. Dukungan di sini semuanya bukan dari profesional seperti psikolog atau psikiater yang sering diceritakan di negara maju, namun datang dari orang-orang yang kukenal: orang tua, rekan kerja yang lebih dari sekedar rekan kerja, dan--terdengar klise, namun percaya atau tidak--Tuhan sendiri. Bagaimana bisa?

Untuk mengatasi pemicu pertama, orang tuaku adalah pemain utamanya. Aku tidak disalahkan atas apa yang terjadi; orang tuaku paham bahwa sekolah di sana tingkat kesulitannya tinggi. Selama ada jalan keluarnya, maka jalan keluar itu layak untuk dijalani, sekecil apapun kemungkinannya. Papaku akhirnya juga memberikan satu doa yang pernah kutulis di forum ini, dan itu yang menjadi kekuatanku untuk terus bertahan. Saat itu, aku belum sereligius sekarang--bahkan sekarang pun aku tidak menyebut diriku sebagai seseorang yang sangat religius. Untunglah dengan dukungan semua orang, ternyata aku dapat kesempatan lagi untuk melanjutkan studiku, dan akhirnya aku lulus.

Pemicu kedua lebih sulit kuatasi saat itu, karena aku sendiri sangat terpukul dengan gagalnya pernikahanku, apalagi dia adalah seseorang yang--kukira--kukenal atas interaksinya bertahun-tahun, termasuk di forum ini. Aku butuh perjuangan untuk bisa akhirnya melupakannya dan tidak peduli dengan segala tindak tanduknya, termasuk dengan selingkuhannya. Itu sebabnya aku sangat tidak siap saat kabar itu menerpaku. Lalu, apa dong yang bisa membuatku tetap hidup?

Mungkin terdengar konyol, namun aku ingin membuktikan kalau aku bisa menjadi orang yang lebih baik dari dirinya. Sekalipun mungkin saat ini dia juga sudah melupakan diriku, aku menganggap dirinya adalah seorang musuh yang perlu sekaligus tidak perlu kumusuhi (tapi bukan frenemy juga karena aku sudah tidak mau berurusan dengannya dalam hal apapun :D ). Pemikiranku sederhana: ketika aku mati karena bunuh diri, saat itulah dirinya menang. Bahwa diriku ternyata tidak lebih baik dari pilihannya saat ini. Dengan tetap hidup, aku bisa membuktikan bahwa dialah yang sudah salah memilih, dan kelak dia akan menyesal sudah memilih orang lain. Pemikiran ini jugalah yang akhirnya menenangkan jiwaku, membuatku memaafkan diriku sendiri, dan akhirnya bisa melanjutkan hidup tanpanya. Mungkin sekali-kali kenangan itu muncul: ketika akhirnya aku kembali ke forum ini, membaca-baca beberapa tulisan masa lalu yang kubuat bersamanya, dan bahkan saat aku melihat video di YouTube ada seseorang yang agak mirip dengannya, walaupun orang ini orang Jepang ^^; pemikiran bahwa aku bisa jadi pribadi yang lebih baik darinya inilah yang membuatku bertahan sampai saat ini. Sejujurnya, aku memang perlu mengucapkan terima kasih yang terakhir kalinya kelak, saat aku akhirnya resmi dinyatakan tidak pernah menikah dengannya, karena mau tidak mau dialah yang membuatku jadi lebih tegar seperti sekarang. Sekalipun aku masih punya ketakutan untuk menjalin hubungan lagi atau bahkan menikah lagi, paling tidak karierku semakin maju dan aku akhirnya berkesempatan untuk tinggal di negara orang untuk studi lanjut. Itu takkan terjadi andaikan aku masih hidup dengannya dan bahkan sudah mempunyai anak.

Nah, pemicu ketiga ini yang masih sulit untuk kuatasi, walaupun dorongan untuk bunuh diri itu sudah menghilang. Pemikiran bahwa aku akan bisa pulih membuatku masih bertahan hidup, walaupun saat ini aku masih menghukum diriku sendiri. Solusiku saat ini? Memotong segala bentuk komunikasi dengan orang itu, dan membiarkan mamaku mengambil alih. Benar saja, sampai saat ini dia masih beralasan macam-macam atas janjinya menyicil mengembalikan pinjamannya, tapi mamaku sudah bilang aku jangan memikirkan hal itu lagi. Memang separuh dariku sudah merelakan uangku hilang, tapi separuh lagi mengatakan aku tidak boleh menyerah, karena itu berarti membenarkan perilaku yang tidak benar. Entah kapan aku bisa berdamai dengan diriku sendiri, namun yang jelas hal ini sudah tidak lagi menjadi dorongan kuat untuk mengakhiri hidupku.

Intinya, dari ketiga pemicu itu, saat ini aku memiliki pemikiran baru. Apa itu? Hidup ini berharga. Aku masih belum mengalami hal-hal menyenangkan di dunia ini: entah berpelancong keluar negeri--atau bahkan ke Indonesia Timur. Aku belum selesai menikmati semua makanan enak di dunia ini. Aku belum selesai memainkan banyak game. Heck, Our Journey-ku belum selesai! Siapa yang akan meneruskan novel itu kalau aku mati sekarang? Aku belum selesai membahagiakan orang tua. Siapa yang akan merawat orang tua kalau aku mati sekarang? Ya ini pemikiran egois sih, aku masih punya kakak yang juga semestinya bertanggung jawab pada orang tua, namun selama ini aku merasa lebih berperan banyak. Hal-hal itu saat ini sudah cukup membentengi diriku dari keinginan untuk mengakhiri hidup. Tentunya, pengalaman tiap orang tidak sama, namun inilah pengalamanku.

Jadi, apa yang bisa disimpulkan dari tulisan ini? Memang hidup itu berat, dan belum tentu semua solusi dapat terselesaikan dengan baik sesuai keinginan kita. Namun, ketika dorongan bunuh diri itu muncul, mungkin aku bisa memberi satu saran: dirimu tetap berharga, sekecil apapun itu. Maka, kalau kau merasa sudah tidak ada lagi yang layak menerima kehadiranmu, katakan pada diri sendiri: Aku masih layak untukku sendiri. Badai pasti berlalu, maka gunakan dukungan apapun yang bisa kaudapatkan. Hanya saja, saranku, jangan ke media sosial, karena warganet kita kejam-kejam. Cukup ceritakan pada orang-orang yang kaupercaya benar-benar: bisa orang tua, bisa teman dekat, intinya siapapun yang kaunilai bisa membantumu. Orang itu pasti ada. Kalau tidak ada, sementara ciptakan saja orang itu, atau berbicaralah pada diri sendiri. Percayalah, segelap apapun keadaanmu saat keinginan itu muncul, hidup ini masih indah. Mungkin bisa dimulai dari journaling seperti yang secara tidak sadar kulakukan di forum ini dengan menuliskan save point--kalau tidak ingin dibaca orang lain, ya tuliskan saja di buku jurnal pribadi. Kelak, ketika kau membaca lagi tulisan tersebut, kau akan sangat bersyukur bahwa kau tidak memilih jalan pintas dengan mengakhiri hidupmu.

Kau pasti bisa menghadapi ini semua. Semangat!
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen