Berita:

Update RPG OJ v0.2 dan v0.2.1 ke v0.2.2!
Lihat keterangan lebih lanjut di Enter Our Journey > Releases and Updates..

Main Menu

Perlu kah pencatatan pernikahan di negara ini?

Dimulai oleh Stash, 29 April 2013, 08:47:13

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Stash

Aku lagi menonton acara debat di TV one, membahas tentang kasus Machicha Muchtar dan (alm) Moerdiono. Kasusnya mungkin sudah sering kita dengarkan juga banyak terjadi di dunia, dimana ada sepasang orang yang (katanya) sudah menikah secara resmi secara agama, tapi tidak dicatatkan di negara. Masalah terjadi ketika salah satu orang tua tidak mau mengakui anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan itu.

Banyak orang (termasuk pengacara dan petinggi sebuah agama) yang meminta dihapuskannya pencatatan sipil. Jadi asal kita sudah dianggap sah menurut agama, negara harus mengakui sah nya pernikahan itu. Jangan lagi pemerintah meminta adanya surat nikah dalam segala pengurusan hal-hal administratif.

Di satu sisi, aku bisa mengerti permintaan mereka, karena tidak semua orang bisa untuk mencatatkan pernikahannya, walau pun mereka sebenarnya ingin. Katakanlah kamu terdampar di puncak jayawijaya, lalu menikah dengan anak kepala suku disana. Disana gak ada KUA atau catatan sipil. Nah, bagaimana dong dengan anaknya ntar? Bagaimana masalah warisan misalnya? Dia gak punya kekuatan hukum untuk menuntut dari bapaknya. Padahal dia nikah secara agama lho. Apa negara mau mencoba melawan Tuhan?

Di sisi lain, kita harus mengingat satu hal, negara adalah pihak ketiga yang harus objektif dalam segala hal, karena apa pun yang dihasilkannya adalah berkekuatan hukum tetap. Misal, ketika negara mengesahkan kalau C adalah anak dari A dan B, maka tidak ada yang bisa membatalkan pengesahan itu. Karena begitu kuatnya pengesahan itu, maka negara tentu tidak boleh sembarangan membuat pengesahan itu. Itu lah kenapa biasanya pihak catatan sipil turut datang di saat resepsi pernikahan, sehingga dengan dia berada disana, dia yakin bahwa benar si A menikah dengan si B. Maka siapa pun anak mereka nantinya (C, D,E, dkk), secara otomatis memiliki kekuatan hukum. Nah, kalo "pernikahan" itu cuma berdasar pengakuan saja ("aku dulu benar kok nikah dengan dia"), bagaimana mungkin negara berani mengukuhkan pernikahan tersebut? Dan biasanya, pernikahan yang tidak dicatatkan ini baru akan muncul ke permukaan ketika ada masalah, ketika salah satu pihak tidak lagi mau mengakui pernikahan tersebut. Suami bilang "aku gak pernah nikah dengan kamu", si istri bilang "kita sudah nikah secara agama". Nah, negara harus ikut siapa? Ini kan kasus omonganku versus omonganmu. Sebagai pihak yang objektif, akhirnya negara mengambil jalan yang fair, berikan bukti yang sah dan kuat bahwa memang terjadi pernikahan tersebut.

Sebuah statement yang sering dijadikan argumen adalah "Negara mengakui Ketuhanan yang Maha Esa". Jadi negara harusnya mengakui keabsahan dan kekuatan hukum keputusan sebuah lembaga agama. Di sisi lain, orang-orang mengingatkan "Indonesia adalah negara hukum, bukan negara agama", jadi semua hal harus mematuhi hukum negara, dan negara menjamin kebebasan beragama selama tidak melanggar hukum-hukum negara. Hal ini memicu adanya pemikiran "wah, kalo pencatatan pernikahan dihilangkan, perzinahan bisa merajalela nih. Kalau tanpa nikah resmi pun, anak mereka bisa mendapat akta kelahiran dari negara, buat apa nikah resmi?". Selain itu, dikuatirkan akan banyak terjadi kasus akte kelahiran ganda (satu anak bisa mempunyai dua akte kelahiran).

Bagaimana menurut kalian? Apa kah pencatatan pernikahan lebih baik dihapuskan saja?
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Berhubung belum nikah, ga bisa komen banyak-banyak :D aku lupa bahasa Inggrisnya (atau yang sebanding dengan) catatan sipil di negara lain... tapi kalau harus berpendapat biasa tanpa dasar apa-apa, menurutku masih perlu lah. Memang sila pertama Pancasila menjamin kebebasan beragama (walaupun ini bisa diperdebatkan di topik lain), tapi seharusnya masalah agama tetap dibedakan dengan masalah negara. Memang pernikahan yang sudah disahkan agama itu kuat di mata Tuhan, tapi kalau cuma dicatat di tingkat agama, gimana caranya negara tahu bahwa pernikahan itu sah? Berarti ada kewajiban dari lembaga agama untuk melaporkan semua pernikahan yang terjadi di dalam lembaganya ke negara. Kurasa kok lebih ribet ya, dan bukannya ini melanggar asas "negara tidak mencampuri urusan agama"... dan gimana kasusnya untuk pernikahan beda agama? Jadi ada dua laporan dong... makanya ada catatan sipil, yang cuma sekedar mencatat pernikahan itu tanpa memandang agama, yang bisa mengesahkan pernikahan di mata hukum.

Nah, masalah ada yang tidak bisa mencatatkan pernikahannya, harusnya negara yang memfasilitasi. Contohmu yang ekstrim itu menurutku negara yang harus memfasilitasi, harus tetap ada KUA dan catatan sipil yang bisa dijangkau walaupun ke gua di puncak Jayawijaya sekalipun. Kalaupun nggak, sebagai warga negara yang sadar aturan (karena contohnya "aku" yang sadar hukum :D), ya turun lah ke KUA atau catatan sipil terdekat untuk lapor. Ribet? Anggap aja bulan madu :D
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Kalo di Singapur, namanya Registry of Marriage. Dan untuk melakukan RoM itu, tidak harus terlebih dahulu melakukan upacara pernikahan agama. Jadi kamu bisa langsung buat jadwal, pas hari H datang dengan orang tua dan saksi-saksi, tanda tangan surat-surat, dan kalian resmi berstatus suami istri secara hukum. Ya karena Singapur tidak mengenal sila 1 Pancasila, jadi buat mereka, sahnya nikah kalau memenuhi hukum negara. Selain itu, tidak sah. Tapi, karena mereka juga tidak mengenal namanya pasal perzinahan atau kumpul kebo, jadi gak ada paksaan bahwa pasangan harus menikah untuk bisa hidup serumah. Kalau ternyata hamil di luar nikah, ya sama seperti kasus-kasus di Indonesia, anaknya secara hukum menjadi tidak mempunyai ayah.

Gak bisa dipungkiri, orang-orang yang paling vokal menyuarakan masalah ini adalah mereka yang menganut agama tertentu, dimana poligami dan kawin-cerai itu dibenarkan. Ada salah satu artis bilang gini di acara televisi "Kenapa aku gak mendaftarkan pernikahanku? Karena aku mau mencoba dulu. Kalo ternyata cocok dengan suami, ya tinggal mendaftar (entah bisa gak mendaftar kalau sudah lama kejadiannya). Kalo gak cocok, tinggal cerai secara agama, yang notabene gak seribet cerai kalau sudah berkekuatan hukum".

Jadi protesnya karena hukum Tuhan tidak boleh dikalahkan hukum negara, atau karena hukum nega membuat "test drive" itu jadi mempunyai dampak negatif?
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Kalimat terakhirmu rancu :D entah ya dengan pandangan "nikah coba-coba",  berhubung ada agama yang seperti itu, ga bisa komentar banyak deh, walaupun konyol sekali nikah kok coba-coba... bilang aja mau kawin tanpa nikah :D
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen