Berita:

Sudah daftar tapi belum bisa masuk log? Aktifkan dulu akunmu. Lihat keterangan lebih lanjut di New Party.

Main Menu

Sistem pendidikan Indonesia, sudah adilkah?

Dimulai oleh Stash, 05 November 2012, 03:06:04

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Stash

Buat yang jadi teman facebook-ku, mungkin sudah baca update statusku beberapa hari yang lalu. Aku mengutip quote yang diucapkan oleh Deddy Corbuzier (kalimatnya beda dengan yang diucapkannya, tapi intinya sama)
"Mintalah guru kimia anda untuk mengerjakan soal-soal pelajaran sejarah anda. Atau mintalah guru ekonomi anda untuk mengerjakan soal-soal pelajaran matematika anda. Mereka pasti tidak dapat mengerjakannya dengan sempurna. Jadi kenapa mereka berharap agar kita dapat sempurna dalam semua mata pelajaran?"
Ada juga kutipan dari Einstein
"If you judge a fish by its ability to climb tree, it will lives its entire life thinking how stupid it is"

Hal apa dari sistem pendidikan kita yang salah? Ada yang bilang materi terlalu banyak. Ada yang bilang jam sekolah terlalu panjang. Ada yang bilang kualitas dan fasilitas antar sekolah yang berbeda-beda. Kalau menurutku sih yang paling utama adalah bagaimana kita menilai kemampuan seorang murid.

Bagaimana sih sistem kita dalam menilai? Berikut adalah sistem yang aku alami selama sekolah (siapa tahu sekarang sudah berubah)
1. Penilaian seorang siswa akan ditulis dalam buku rapor
2. Buku rapor akan berisi nilai semua mata pelajaran yang diajarkan
3. Semua nilai itu akan dijumlah untuk mendapatkan nilai total
4. Dari nilai total itu, akan diurutkan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah untuk menentukan rangking, baik rangking kelas maupun rangking sekolah (istilah di SMAku dulu rangking pararel)
5. Untuk naik dari SD ke SMP atau SMP ke SMA, akan ada ujian nasional lagi, selain tetap ada ujian sekolah
Kalau aku ada salah nulis tentang poin-poin diatas, mohon dikoreksi.

Pertanyaan (P) : Ok, jadi apa masalahnya?
Jawaban (J) : Masalahnya adalah pemakaian jumlah total semua mata pelajaran dalam nilai rapor.
P : Kenapa memangnya?
J : Sistem demikian berarti memaksa seorang siswa untuk meraih hasil bagus di semua mata pelajaran, termasuk di mata pelajaran yang mungkin tidak relevan bagi dia. Contoh: seseorang yang nilai Mat, Fis, dan Kimia dapat 9 tapi Ekonomi, Sejarah, dan Akuntansinya 6, secara sistem akan rendah posisinya dibanding siswa yang mendapat nilai 8 untuk semua mata pelajaran itu.
P : Aku tetap gak melihat masalahnya
J : Masalahnya akan muncul ketika ada reward dan punishment akibat nilai dan/atau rangking tersebut. Katakanlah untuk meraih beasiswa masuk fakultas teknik UI, harus posisi lima besar terus di kelas. Nah, katakanlah dia selalu rangking 6 gara2 nilai lainnya jeblok, padahal nilai MatFisKimnya bagus. Otomatis orang yang nilainya lbh jelek di MatFisKim (contoh diatas) yang berhak dapat beasiswa. Apakah itu adil?
P : Tapi kan semua pelajaran itu penting, karena menjadi bekal dimasa depan
J : Aku setuju kalau semua pelajaran itu penting. Semakin banyak ilmu yang kita ketahui, semakin baik. Pertanyaannya adalah apakah mengetahui berarti harus menguasai? Seorang ilmuwan tentu harus tahu bahwa dulu Presiden pertama kita adalah Sukarno. Tapi apakah kita harus hafal tanggal wafatnya Sukarno?
Seorang akuntan tentu boleh saja mengetahui bahwa ada yang namanya not balok. Tapi apakah dia harus menguasai not balok tersebut?
P : Jadi maumu gimana? Maumu siswa boleh milih mau ujian apa? Kalau gak dites, ya mereka gak akan belajar.
J : Aku gak melarang ujian. Silahkan dites, dan silahkan dinilai. Itu berguna sebagai input bagi siswa, agar mereka tau yang mana yang menjadi kelebihan mereka. Tapi sistem kita dalam menentukan nilai total, rangking, dan syarat kelulusan itu yang harus diubah. Masa agar dapat lulus SMA dan masuk jurusan teknik sipil, aku harus bisa membedakan macam-macam pantun? Mungkin kalo gak ada penjurusan, ok deh dilihat semua nilai total. Tapi kalo sudah dibagi jadi IPA, IPS, dan bahasa, apa masuk akal kalo rangking di jurusan IPA masih melihat mata pelajaran sejarah dan bahasa indonesia? (Misalnya seperti contoh di atas)

Sebagai kesimpulan, mungkin untuk SD dan SMP, kita boleh memberi siswa semua pelajaran, karena mereka sendiri pasti belum tahu apa kelebihan dan kekurangan mereka. Tapi begitu masuk SMA dan kuliah, aku rasa sudah saatnya diberlakukan sistem SKS seperti kuliah, dimana siswa bisa memilih pelajaran yang mereka mau. Menurutku itu lebih adil.

Ah, satu hal lagi. Tentang pelajaran bahasa dan pelajaran moral (agama fan PPKN), mari kita membuat materi pengajaran yang lebih praktikal, jangan terlalu teoritis. Seperti aku tulis di atas, untuk jadi ilmuwan yang baik, gak harus hafal jenis-jenis puisi.

Sekian tulisan panjangku :D
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Masalah ini nggak cuma terjadi di Indonesia kok. Aku kapan hari kebetulan beli buku, judulnya "The Multiplayer Classroom". Di sana juga dipaparkan bagaimana sistem pendidikan di Amerika terlalu terpusat pada hasil akhir, dengan F sebagai Failed. Akhirnya ada yang menyadari (si penulis buku tentu saja), cara itu keliru. Akibatnya, banyak yang failed. Tapi berhubung sudah jadi sistem nasional, akan sulit mengubahnya. Jadi, apa yang diubah?

Cara mengajar.

Menurut hasil penelitiannya, mamalia itu menyerap pelajaran lebih baik dengan cara... bermain. Lihat saja anjing, paling suka main kan? Dengan bermain, kita bisa mendapatkan sesuatu yang baru. Kalaupun kita berbuat kesalahan, dalam dunia permainan yang terkontrol, konsekuensinya tidak fatal, sehingga kita bisa terdorong untuk mencoba terus sampai sukses. Misalnya saja, secara tidak sengaja kita menyentuh api dan ternyata terbakar. Sakit memang, tapi dari situ kita belajar untuk tidak menyentuh api. Kalau di dunia permainan kita gagal mengalahkan bos, konsekuensinya? Paling ngulang dari titik tertentu. Kemudian, ada penemuan yang menarik bahwa--akui sajalah :D--generasi sekarang lebih suka bermain daripada belajar. Game sekarang ada di mana-mana, sehingga anak generasi sekarang lebih terikat ke sana, terutama MMO(RPG). Si penulis bercerita, anaknya yang hanya umur sepuluh tahun saja bisa memimpin sebuah guild, menyelesaikan perselisihan antar-guild, yang notabene anggotanya adalah orang dewasa. Nah lho :)

Dari kenyataan itu, dia berpikir, kenapa nggak sih dicoba untuk mengubah suasana kelas yang monoton, datang hanya duduk mendengarkan dan mencatat, pulang kerja PR, menjadi suasana MMO? Tentu saja, karena belajar di sekolah dilakukan waktu-nyata, istilah online harus dibuang, dan karena jumlah murid di suatu kelas tidak terlalu besar, istilah massively juga tidak cocok. Jadilah Multiplayer Class atau MC. Si penulis kebetulan desainer beberapa game ternama dan sudah berkecimpung di dunia itu selama dua puluh tahun, jadi menurutnya game yang paling cocok untuk diterapkan ke kelas adalah RPG. Bagi orang biasa, mungkin ini terdengar aneh banget. Perubahan-perubahan dari sistem konvensional kurang lebih seperti ini (aku belum selesai baca seluruhnya):

  • Nilai PR, tugas, ulangan, dsb. yang biasanya kita gunakan skala 0 hingga 100, dirombak menjadi EXP. Tentu saja, karena ada sistem grading dari pemerintah, mau tidak mau EXP itu dikonversikan ke huruf pada akhirnya. Misalnya, 100 EXP dapat F, 200 EXP dapat E, 350 EXP dapat D, dan seterusnya. Untuk sistem EXP biasa, memang agak aneh karena biasanya semakin tinggi level semakin banyak EXP yang harus dikumpulkan, jadi dia masih eksperimen.
    Yang menggelikan (dan pingin kucoba pas balik nanti :P), sambutan pertamanya ketika memulai pekan pertama kelasnya adalah:
    KutipSelamat datang di kelas X! Anda semua akan dapat F setelah kelas ini berakhir.
  • Semua istilah yang kelihatannya membosankan (atau mengerikan) dia ubah menjadi istilah-istilah yang familiar dalam MMORPG. Tentu saja, karena nggak semua orang main RPG, dia tetap memberikan istilah awalnya. Istilah yang dia ubah misalkan, tugas diganti quest (bisa solo, bisa co-op, bisa PvP), kelompok diganti guild, ujian dibilang boss, kuis kecil diganti dengan raid the mob, dan sebagainya. Beberapa guru yang mencoba sistem ini malah lebih kreatif lagi, ada NPC di kelas yang bisa memberikan quest.
    Berhubung istilah kebanyakan diganti dengan istilah RPG, ada juga yang mencoba memberikan storyline. Contoh kasus adalah di suatu kelas Biologi. Ini kukutipkan contoh salah satu PR-nya, tidak kuterjemahkan.
    KutipHey man... Waylon just won't listen to me. I've been trying to tell him about k-strategists and r-strategists. He just doesn't listen! This is what I want you to do. I want you to write a children's book about k and r strategists. Explain it in terms that Waylon could understand. After all, he is only three years old. Make the book at least six pages long. Be sure to include pictures of the different kind of strategists. Waylon also judges a book by its cover, so make the cover SUPER exciting!

    50 XP and 5 Bucks.
    Coba bayangkan sendiri kalau guru kita yang ngasih PR itu, seperti apa susunan kalimatnya.
    Ngomong-ngomong, Waylon di contoh itu adalah kura-kura :D

Cara ini dites di beberapa tempat, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. So far hasilnya lebih memuaskan dibanding sistem konvensional (walaupun tidak bisa dihindari ada yang failed, tapi persentasenya berhasil ditekan). Kebanyakan yang mengambil kelas multiplayer merasa kelas itu lebih menyenangkan, bahkan ada yang pingin kelas lainnya dibegitukan juga.

Nah, balik lagi ke sistem pendidikan Indonesia, kurasa sudah waktunya guru-guru dan orang tua sadar, kita jangan berorientasi ke nilai. Buat supaya anak merasa tertarik dengan suatu materi, jangan hanya sekedar memberi materi dan menuntut harus bisa.

OOT dikit... untuk SD, konon hanya enam pelajaran yang akan diberikan. Aku nggak tahu cerita lengkapnya, ada rekan dosenku yang memberi artikel ini: http://www.thejakartaglobe.com/education/only-six-lessons-for-elementary-students-as-english-also-gets-the-ax/549581

Dan aku mau menyanggah satu jawabanmu:

KutipTapi kalo sudah dibagi jadi IPA, IPS, dan bahasa, apa masuk akal kalo rangking di jurusan IPA masih melihat mata pelajaran sejarah dan bahasa indonesia?

Sungguhan, ini yang bikin laporan kerja praktek dan tugas akhir di jurusanku bahasanya nggak karuan, dan itu nyaris menjadi paradigma orang teknik: mereka lebih menguasai bahasa teknik daripada bahasa Indonesia >.>. Oke lah menurutmu pantun itu nggak berguna, tapi menurutku bahasa Indonesia itu nggak boleh dibuang bahkan sampai perguruan tinggi. Materinya saja yang disesuaikan. Ini mungkin nggak relevan dengan pendapatmu bahwa nggak semua orang harus menguasai semua topik. Untuk mata kuliah Game Programming, soal UTS-ku selalu jumlah poinnya lebih dari 100 (rekorku 650, sebelum akhirnya kuturunkan biar ga dipanggil :P). Semua materi yang kuajarkan ada di situ, ditambah beberapa soal yang memang butuh pemikiran lebih lanjut. Akibatnya memang satu, jumlah halamannya "fantastis" untuk ukuran soal UTS, minimal 4 lembar bolak-balik (alias 8 halaman). Tapi, tujuanku bikin soal sebanyak itu adalah menguji sejauh mana mereka bisa berstrategi ketika menghadapi pilihan yang banyak, dengan reward masing-masing, dan memanfaatkan itu untuk meraih keuntungan maksimal. Dari empat kali percobaan, sayangnya rata-rata hanya berhasil meraih nilai 50-60. 70 langka, 80 apalagi. Hanya generasi pertama yang bisa dapat lebih dari 100, itu pun hanya dua orang. Aku pernah dengar sih, soal yang baik tidak terlalu panjang, tapi kalau tidak detail, biasanya malah banyak yang bingung :)

Sistem penilaian itu mau nggak mau memang harus ada, karena kalau nggak dari mana kita tahu kita sudah menguasai sesuatu kalau bukan orang lain yang menilai. Ranking itu juga bagus sebenarnya, untuk menghargai mereka yang bekerja keras. Motivasinya aja yang sekarang keliru :)
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Berdasar pengalaman sendiri, aku setuju kalo cara belajar yang paling efektif adalah dengan adanya partisipasi aktif siswa, entah dengan praktikum, atau dengan diskusi, atau misal dengan drama. Sudah gak jaman lagi sistem dimana guru ngomong dan murid mendengarkan. Terus ntar pas ulangan, guru bertanya dan murid menjawab (dengan format jawaban yang harus sesuai kemauan si guru).

Mengenai bahasa Indonesia, aku pikir yang terjadi sama dengan yang terjadi di semua mata pelajaran : terlalu banyak teori yang diberikan. Kenapa sih gak bisa membuat materi kurikulum yang ringkas tapi berbobot? Mungkin kalau kita mau mengadaptasi game RPG, pada saat mau belajar skill, kita diberi batasan (entah dengan cara skill point, atau cara-cara batasan yang lain). Kenapa begitu? Aku pikir masuk akal, karena dalam dunia nyata, gak akan ada manusia yang super, yang bisa menguasai banyak ilmu. Kalau pun bisa menguasai, apakah ilmu-ilmu yang banyak itu akan dipakai? Kalo ambil contoh MMORPG Dragon Nest SEA, kalian pilih mana, menguasai semua skill yang ada, tapi level skillnya cuma 1, atau menguasai beberapa skill, tapi levelnya ada yang bisa sampai maksimum?

Satu hal yang juga aneh, kenapa sih gak bisa pake kurikulum yang sama saja? Tiap ganti menteri, ganti kurikulum. Jangan-jangan ada kerja sama dgn penerbitan buku... Jujur aku gak melihat masalah dengan kurikulum yang dulu aku pakai semasa sekolah. Kenapa gak dilanjutkan saja? Contoh saja dari segi PPKN (dulu PMP). Rasanya yang namanya ilmu moral sama saja dari dulu sampai sekarang. Pelajaran agama juga, semua kitab suci gak ada yang namanya revisi. Matematika.... Namanya tambah kurang kali bagi, FPB, KPK, bilangan, dkk sama saja dari dulu. Jadi kenapa musti diganti-ganti tiap kepemimpinan?

Ada tanteku yang komentar sih "Materi X ini dulu aku dapat pas SMP. Sekarang sudah diajarin di anak SD. Ntar materi SMA bisa-bisa aku belum pernah dapat. Makanya susah bagi orang tua untuk mengajar anaknya. Bagaimana bisa mengajar untuk materi yang tidak kita ketahui?" Jadi penasaran, jangan-jangan anak SMP sekarang sudah diajarin teori propabilitas dan trigonometri.... :D

Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Stash

Menurut menteri pendidikan, kurikulum SD akan diganti menjadi 4 pelajaran wajib (bahasa indonesia, matematika, agama, dan ppkn), muatan lokal wajib (pramuka), dan muatan lokal pilihan (kesenian, olahraga, dkk). Dan menurut sistem baru, maka perlu ada penambahan jam belajar 4 jam per minggu.

Ganti terusssss..... Lumayan kan, proyek cetak buku pelajaran baru....
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com