Berita:

Update RPG OJ v0.2 dan v0.2.1 ke v0.2.2!
Lihat keterangan lebih lanjut di Enter Our Journey > Releases and Updates..

Main Menu

Toleransi antarumat beragama: pelajaran PPKn yang hilang?

Dimulai oleh Èxsharaèn, 20 Mei 2013, 12:26:59

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Èxsharaèn

Topik ini tidak aku maksudkan untuk propaganda. Cuma rada sedih saja melihat poin yang satu ini seakan sudah menghilang dari akar budaya Indonesia. Rasanya sekarang hidup ini didominasi oleh kelompok tertentu yang mayoritas. Dulu memang ingatku bisa terjadi yang seperti itu, dominasi mayoritas. Dan sedihnya, sekarang aku merasa itu terjadi tanpa disadari.

Contoh? Kemarin ada teman di FB yang ngomel-ngomel menonton sebuah acara perdebatan (Indonesian Lawyer Club?), ketika terjadi seseorang menyebutkan ayat-ayat suci agama X dan dia malah ditertawakan. Ya memang sih hal itu keliru, tapi kemudian temanku ini berkomentar, "Hukum Indonesia itu menyimpang!" Ketika kutanya apa yang menyimpang dan menyimpang dari apa, dia sih jawab "ya dari hukum agama X lah." Seingatku PPKn dulu mengajarkan Indonesia itu bukan negara agamis, ya wajar dong kalau hukum kita tidak berdasarkan agama tertentu (kecuali untuk NAD, sudah nggak bisa diapa-apakan kayanya). Kenapa sekarang harus disandingkan dengan hukum agama X? Kami yang tidak beragama X bisa dong menyatakan, "Lho hukum itu nggak sesuai dengan hukum kami!" Kalau dipaksakan begitu, ya nggak bakal ada jalan keluarnya lah. Terakhir dia menutup dengan "Hukum agama X itu jelas dan tegas." Ini aku nggak berkomentar, daripada terjadi perang nggak jelas. Lagipula, sudah bukan rahasia umum lagi kalau orang akan mempertahankan keyakinannya yang diserang sekuat tenaga, dan tanpa fakta atau riset yang benar-benar kuat, mustahil mengalahkan pendapatnya.

Contoh lain, waktu aku beribadah pekan lalu, sempat ada khotbah yang cukup miris juga. Beberapa sekolah swasta agama Y di daerah-daerah akan ditutup karena tidak memenuhi peraturan daerah tentang kewajiban mengajarkan agama yang sesuai. Lha sudah jelas-jelas itu sekolah swasta, apalagi kalau sekolah agama Y pasti sudah ada perjanjian di awal bahwa murid yang masuk ke sana bersedia untuk menerima pelajaran agama Y. Kenapa sekarang mereka memaksakan agama X ikut diajarkan di sekolah agama Y? Absurd sekali itu. Kalau memang ga mau, ya jangan masuk sekolah swasta. Sekolah negeri mengajarkan agama X kok.

Ada lagi kasus tentang penolakan untuk perluasan tempat ibadah agama Y, padahal semua syarat-syarat administratif sudah dipenuhi. Tanah sudah dibeli. Alasannya pun dibuat-buat, tapi intinya nggak boleh. Dasarnya apa?

Aku nggak akan membeberkan apa itu agama X dan agama Y di sini, silakan dicari dan disimpulkan sendiri. Intinya, ke mana toleransi antarumat beragama yang dulu diajarkan di sekolah-sekolah dasar? Kenapa sejak zaman reformasi negeri ini bukannya jadi lebih baik, tapi semakin kebablasan dalam berekspresi? Apa kita perlu balik lagi ke zaman diktator, saat semuanya dikontrol dengan sangat ketat?
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Masalah sekolah itu, sempat dibahas sih di salah satu grup bbmku. Pada kaget juga mereka. Tapi apa mau dikata...

Omong-omong, baca artikel ini deh. Ada dua hal yang menarik.
Pertama bagaimana SBY dianggap berjasa dalam memajukan toleransi dalam perbedaan.
Kedua, bagaimana komentar-komentar yang ditulis semoga TIDAK mencerminkan kondisi asli masyarakat Indonesia secara umum.

Mengenai acara Indonesian Lawyers Club, topik minggu kemarin seingatku mengenai tindak pidana pencucian uang (yang sudah aku buat topiknya). Aku gak ingat ada ayat-ayat Kitab Suci tertentu, apa mungkin pas aku ketiduran. Tapi kalo aku liat, para pengacara sendiri pun suka berprinsip ganda. Mereka suka membenturkan hukum agama dan hukum formal negara, demi kepentingan klien mereka. Contoh yang pernah aku tulis yaitu pencatatan pernikahan.

Overall, aku melihat masyarakat sekarang seperti bingung arah. Hukum agama dan hukum negara berusaha dicampur menurut kesukaan mereka. Pas butuh A, pake hukum agama. Pas butuh B, pake hukum negara. Dan sialnya, pemerintah cuma bisa berkata "Saya prihatin..."
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Sayangnya sih, kalau aku lihat topik-topik sensitif seperti ini, komentar orang-orang cenderung negatif dan panas. Kebablasan kebebasan kalau aku bilang, dan ya itu tadi, dominasi mayoritas sudah kentara sekali. Kalau lingkungan kita didominasi sesuatu, susah kan lihat yang kecil-kecil?

Melanjutkan artikelmu, menyedihkan sekali ketika bahkan negara pun tidak mengakui ada dominasi mayoritas yang sedang terjadi, malah dibilang berpikiran sempit yang didasari politik. Ya ampun...
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Yang ngomong adalah juru bicara presiden, yang tak lain adalah pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan itu. Jadi gak kaget sih, walau itu menunjukkan pola pikir pemerintah kita....
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Stash

Numpang salin ayat Alkitab yang sama dengan topik yang lain :D

Kutip dari: 1 Kor 8:9Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.
Mengenai pelajaran agama di sekolah, sebenarnya kalau kita mau memandang dari sudut lain, sebenarnya tidak bagus juga kalau sekolah Katolik hanya mengajarkan agama Katolik di sekolah. Kenapa?

Pertama-tama perlu dipahami bahwa Katolik mengakui kebebasan beragama. Semua penganut agama apapun (yang resmi) sama-sama bisa masuk surga, selama mereka menjalankan ajaran agama masing-masing dengan penuh. Beberapa artikel yang bisa menjadi tambahan, artikel di Kompasiana dan Artikel di ekaristiDOTorg.

Nah, ketika sekolah Katolik mau menerima siswa non-Katolik, maka mau tidak mau, sekolah mempunyai kewajiban agar siswa tersebut bebas menjalankan agamanya, dan sekolah tidak menjadi batu sandungan bagi siswa tersebut. Pertanyaannya, dengan mewajibkan siswa tersebut belajar agama Katolik, apakah kita sudah menghormati hak kebebasan beragamanya, dan apakah kita tidak menjadi batu sandungan baginya?

Jujur, kenapa sih orang memilih sekolah katolik? Salah satu alasan yang muncul adalah kualitas pendidikannya, dan lingkungan sekolahnya. Setahuku tidak ada orang non Katolik yang mau masuk sekolah Katolik karena tertarik dengan ajaran Katolik. Nah, dengan ini, kelihatan jelas bahwa dengan kita mengajarkan agama Katolik ke mereka, kita bisa menjadi batu sandungan buat mereka. Buat yang imannya kuat, mungkin pelajaran agama akan dianggap sebagai pelajaran biasa yang sama dengan sosiologi misalnya. Tapi bagaimana dampak kepada kehidupan sosialnya? Bagaimana kalo dia mendapat tekanan dari masyarakat sekitar rumahnya? Atau misalkan untuk yang beragama Islam, bagaimana ketika pada hari Jumat, dia seharusnya sholat siang, sedangkan pelajaran sedang berlangsung?

Di sisi lain, kalau sekolah memberikan keistimewaan untuk siswa non Katolik, apakah adil untuk siswa lain yang Katolik atau yang tidak jelas agamanya? Ketika dia seharusnya jam sholat misalnya, sedangkan mereka sedang ulangan, apakah sekolah wajib memberikan ijin spesial dan tambahan waktu bagi dia? Bagaimana terus dengan orang yang sakit perut pas ulangan misalnya? Bukanka sekolah lalu wajib juga memberikan tambahan waktu bagi dia? Atau karena sisi yang pro suka membandingkan dengan sekolah negeri, aku mengambil contoh kasus di sekolah negeri, apakah sekolah negeri mengijinkan siswa Kristen Katolik untuk libur pada hari perayaan Kamis Putih? Memang misanya di malam hari biasanya, tapi misa kan butuh persiapan. Siapa tahu siswa tersebut harus membantu persiapan di gereja. Kalau mau dibandingkan dengan perlakuan ke agama lain, dimana ketika masa puasa, mereka dikasih libur yang panjang misalnya, itu sudah menunjukkan satu ketidak-adilan.

Nah, ternyata kalau mau dikaji lebih dalam, masalah ini tidak sesimpel kelihatannya. Banyak pertimbangan yang harus dikaji sebelum pemerintah dan pihak sekolah bisa berkata "Sekolah Katolik wajib/tidak wajib memberikan pelajaran agama lain di sekolahnya".

Aku rasa kita sering kali ngotot kalo sedang menuntut hak kita, tapi lupa bahwa ada yang namanya "keadilan". Ketika kita menuntut hak kita, kita lupa untuk mempertimbangkan hak orang lain dan efek makronya. Kebebasan agama menurutku bukan cuma sekedar diberikannya jatah 2 jam mata pelajaran agama di sekolah tiap minggu, tapi bagaimana siswa tersebut kemudian difasilitasi untuk menerapkan kepercayaannya itu dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Sebetulnya kutipan itu berlawanan dengan keyakinanku dan debatable, tapi berhubung ntar jadinya OOT, kapan-kapan saja dibahas :D

Nah aku nggak tahu juga kenapa sekolah kok hanya punya satu agama saja di pelajaran agamanya. Tapi, kalau menganut asas UUD, sepertinya itu masuk akal. Aku tetap tidak akan menyebut namanya secara eksplisit di sini, tapi ingat kan PPKn mengajarkan ada lima agama utama di Indonesia? Sebut saja X, Y, A, B, C. Apakah itu berarti semua sekolah, tidak peduli swasta atau negeri, harus memberikan kelima pelajaran tersebut di sekolah untuk dipilih? Bagaimana kalau misalnya dari seluruh murid kelas V yang berjumlah 100 anak, hanya ada 1 saja yang beragama berbeda? Apakah efektif dan efisien bagi sekolah untuk menyewa satu orang guru agama khusus untuk mendidik 1 anak itu? Bagaimana juga dengan sistem penilaiannya, apakah bisa disetarakan? Bagaimana kita bisa menjamin kesetaraan itu? Contoh saja, di universitasku yang punya lima macam pendidikan agama, ada satu agama tertentu yang jadi favorit karena nilainya murah. Ada satu agama yang menganut asas "nilai sempurna itu hanya untuk Tuhan" jadi secara akademis bisa dikatakan mustahil dapat A. Jelas nggak setara. Bisa kah itu disetarakan untuk seluruh Indonesia? Makanya UN kita ga ada kan UN agama?

Aku nggak akan menjawab pertanyaanmu yang seabrek di atas (toh kamu lebih pintar cari jawabannya :D). Di sisi lain, orang tua harusnya sudah mempertimbangkan dalam-dalam tentang masalah ini. Ketika mereka mau memasukkan anaknya ke sekolah yang mengajarkan pendidikan agama yang berbeda dengan yang mereka anut (yang biasanya terlihat jelas dari namanya, SDX/SMPX/SMAX), apakah kualitas pendidikan merupakan tradeoff yang sepadan dengan hilangnya pendidikan agama? Apakah benar sekolahX tersebut punya kewajiban juga untuk mengajarkan agama YABC, yang mungkin saja bertentangan dengan visi/misi X? Aku samar-samar ingat di salah satu sekolahku dulu (SMPX), ada temanku yang beragama Y. Tiap pelajaran agama X, dia dibebaskan untuk ke perpustakaan untuk belajar yang lain. Lalu nilai pelajaran agamanya gimana? Aku lupa persisnya, tapi kalau nggak salah diganti dengan satu pelajaran lain (kalau nggak salah dikasih nama "pelajaran agama Y", tapi otomatis dapat bagus, jadi sekedar formalitas saja). Dominasi mayoritas? Terpaksa, tapi mungkin itu jalan keluar yang paling tepat saat itu. Bikin iri? Memang :D tapi dari pada memaksakan agama X ke dirinya?

Nah, kalau memang agama ini adalah salah satu faktor yang tidak bisa ditawar (artinya semua sekolah harus punya pelajaran agama XYABC tanpa pandang bulu), daripada susah-susah begitu, kenapa nggak dihapuskan saja? Kira-kira ngefek nggak sih ada pelajaran agama di sekolah? Jangan-jangan perlakuannya sama dengan pelajaran lain yang berupa hafalan. Aku ingat betul satu contoh konyol jawaban ulangan agama di SDX dulu, karena pertanyaannya begini: "Apa arti 'Elli, elli, lamma sabachtani?'" Temanku jawab, "Mbak Eli, Mbak Eli, kapan kembali dari pasar?" Apakah itu relevan dengan kehidupan beragama? Mungkin nggak. Dari sini saja muncul permasalahan baru tentang bagaimana sebenarnya pelajaran agama itu sebaiknya dibawakan dan "dinilai" secara akademis, tapi itu untuk topik lain kali saja.

Di luar sekolah, setahuku, padahal untuk perayaan hari besar keagamaan, kita ini sudah termasuk tertib dan toleran. Terlepas dari larangan agama X untuk ikut membantu atau merayakan hari besar keagamaan Y (dan memang ada benarnya kalau dilihat dari satu sisi), sekarang perayaan hari besar sudah semakin nyaman. Memang sih mungkin gara-gara kasus terorisme di Indonesia makanya perayaan agama seringkali dijaga ketat... di sini aku bawakan sudut pandang si penjaganya, alias para tentara dan polisi yang bertugas. Temanku pernah bilang, mereka dapat giliran jaga saat ada perayaan agama tertentu yang berbeda dengan agama yang dianutnya, tapi mereka sendiri diperbolehkan libur (bebas tugas) untuk merayakan hari besar keagamaannya. Contohnya, si A yang beragama Islam akan bertugas saat perayaan Natal, tapi dia libur pas Lebaran. Sebaliknya, si B yang beragama Katolik akan bertugas saat Lebaran, tapi dia punya hak untuk merayakan Triduum alias Tri Hari Suci. Sebenarnya itu toleran sekali kan?

Ngomong-ngomong Triduum (sori yah yang bukan Katolik), pengalaman aku sendiri kalau ngajar pas hari Kamis Putih dan kuliah sore (15.45-18.30), biasanya aku kasih toleransi dengan membubarkan kelas lebih awal (17.30 atau bahkan lebih awal dari itu, karena misa sore biasanya sekitar waktu itu). Atau, sebelum kelas dimulai, aku diskusi dulu dengan sekelas, mau gimana. Karena kalau yang Katolik pulang lebih awal tapi kelas masih berlanjut, jadinya mereka ketinggalan materi yang bisa jadi penting, ya kan? Entah ini salah satu contoh yang baik atau nggak :D kalau kuliah siang (9.45-12.30), kecuali hari Jumat (karena di hari Jumat ada break pukul 11.35), aku biasanya sih tidak terlalu ambil pusing untuk siapapun yang mau menjalankan sholat (pengalamanku sih malah biasanya mereka juga nggak keluar kelas pas waktunya). Kalau pas puasa, ada himbauan untuk mengadakan break pada waktu buka puasa atau diakhiri pukul 17.30 (walaupun himbauan terakhir ini yang bikin pusing karena materinya jadi tidak sebanding dengan waktu yang ada). Pernah sih aku tetap bablas sampai 18.30, tapi pas waktu buka puasa aku izinkan siapapun yang mau buka puasa, dan saat itu aku hentikan materi untuk kira-kira 30 sampai 45 menit, baru setelahnya lanjut lagi.

Jadi, mestinya toleransi antarumat beragama ini bisa kok dilakukan dengan hal-hal kecil di kehidupan sehari-hari. Dan aku masih cukup berbangga lah dengan Surabaya karena kasus-kasus yang kusebutkan di awal topik ini masih sangat minor sekali (hanya ada satu-dua kasus). Hanya saja, sampai kapankah keadaan itu bisa dipertahankan?
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Aku rasa ini satu konsekuensinya ketika kita berprinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kita harus mampu memberikan keadilan untuk semua orang. Memang yang jadi masalah, aku gak mendengar agama X itu dipaksa harus mengajarkan agama YABC. Toh setahuku, orang non agama X jarang yang mau masuk situ.

Nah, itu yang aku rasa lucu. Kalau kamu mau melihat ke level rakyat, sebenarnya masih banyak yang toleran kok terhadap agama lain. Mereka misalnya tidak bermasalah ada tempat ibadah Y selama umat Y juga toleran kepada masyarakat sekitar. Tapi entah kenapa, para petinggi kita yang suka berbuat ulah.
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Stash

barusan ada diskusi di TV One mengenai kontroversi penghargaan kepada SBY (baca tautan di tulisan sebelumnya).

Intinya gini, SBY merasa dia sudah sukses dalam menjalankan Bhinneka Tunggal Ika karena
1. Tidak ada tragedi dengan jumlah korban besar. Kasus ahmadiyah, yang meninggal sekitar 20-an orang saja.
2. Pemerintahnya sudah banyak mengeluarkan peraturan-peraturan yang (seharusnya) menjamin kebebasan tiap warga negara.

Sayang mereka lupa bahwa
1. Tidak mati, tapi hidup dalam ketakutan, apakah itu yang namanya negara yang maju dalam toleransi?
2. Indonesia sudah overloaded dengan peraturan. Tapi bagaimana pelaksanaannya? Apakah dengan keluarnya peraturan2 itu, lantas presiden sudah bisa lepas tangan?
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Stash

Ada satu kasus nyata yang kurang lebih mengarah kepada penghinaan SARA nih, kasus Farhat Abbas yang menyindir Ahok di twitter. Entah dia lagi hang ato gimana, tapi akhirnya masalah ini jadi rame karena  komunitas Masyarakat Muslim Tionghoa Indonesia (MUTI) melaporkan Farhat ke kepolisian dengan sangkaan penghinaan berdasar ras (baca artikel ini).

Kasus itu sendiri sudah terjadi Januari 2013, dan baru saja polisi menetapkan Farhat sebagai tersangka dalam kasus itu (baca artikel ini)

Seperti tulisanku sebelumnya, sebenarnya peralatan hukum kita sudah cukup lengkap untuk menindak orang-orang yang bersikap diskriminasi. Permasalahannya, berani kah aparat untuk menggunakan peralatan itu?
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Kukira kamu nulis yang satu ini, ternyata bukan :D

Waisak kemarin ternyata kurang bisa dirayakan dengan khusyuk oleh rekan-rekan beragama Buddha. Ada insiden di Candi Borobudur, yang sayangnya dilakukan oleh turis yang tidak ikut merayakan Waisak. Berita lengkapnya bisa dibaca di sini. Ya memang sih di sini ada unsur kurang perencanaan matang dari panitia, tapi harusnya namanya perayaan umat beragama, yang tidak ikut merayakan harusnya nggak mengganggu dong, masa selama prosesi ada yang bercanda keras-keras? Apalagi yang diincar hanya foto perayaan lampion. Sudah sedemikian dibutakan oleh fotografi kah kita sampai harus menanggalkan toleransi umat beragama?
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Astaga, bikin malu sekali.... Mau jadi apa negara ini kalo negara yang katanya agamis, tidak bisa menjaga kesopanannya di sebuah acara keagamaan, walaupun memang bukan agamanya...
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Èxsharaèn

Aku sempat baca di koran, SBY meminta masyarakat untuk paham tentang penghargaan itu. Jangan dipandang sebagai penghargaan ke pribadinya, tapi ke posisinya sebagai presiden.

Pak SBY, kita nggak paham apa peran Anda sebagai presiden untuk menjaga toleransi antarumat beragama di Indonesia...

Aku penasaran sebenarnya, bagaimana seseorang yang agamanya mayoritas di sini tiba-tiba harus tinggal di negara lain yang agamanya minoritas. Masihkah dia akan meminta perilaku yang sama yang ia peroleh di Indonesia? Dan apakah akhirnya dia bisa memahami nasib menjadi kaum minoritas?
Jangan lupa ikutan serunya petualangan Our Journey!
~ A, èxshna il utnön qu our journey shallaran a èndh... ~

Profiles
About.me https://about.me/hoshiro.exsharaen

Stash

Ada juga yang bilang gini "kita harusnya bangga. Kalo SBY dapat penghargaan, artinya Indonesia yang dapat penghargaan. Kita harusnya bangga, bukan menghujat SBY!". Ya, tapi yabg ngomong itu ketua organisasi tertentu sih, jadi ya....
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Stash

Nambahin dikit mengenai andai-andaimu. Kalo dia pindah ke Singapur misalnya, bisa syok dia.

Contoh aja ya. Untuk yang beragama muslim, gak ada namanya gerbong KA khusus cewek (aku tau di jakarta ada). pas puasa, gak ada namanya kantin harus ditutup ato dipasang pembatas. Semua tetap beroperasi seperti biasa  pas lebaran, gak ada namanya libur 1 minggu lebih. Gak ada namanya idul adha. Untuk yang beragama lain juga sama, libur hari besarnya dibatasi.

TAPI, cuma di Singapur (sejauh aku pernah lihat sendiri), ada kuil yang bertetangga dengan gereja. Ada masjid di lingkungan perumahan (padahal setahuku penduduk sekitar sana bukan mayoritas muslim). Gak ada larangan pake jilbab. Kok bisa ya....
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com

Stash

Barusan buka-buka facebook, dan menemukan berita unik ini. Masih perlu diklarifikasi kebenarannya, tapi klaim dari orang itu cukup menambahkan noda di award yang sudah penuh noda itu.
Twitter ID : stefano1003
Facebook : http://www.facebook.com/stefano.ariestasia
Google+ : stefano.ariestasia
Blog : http://catatanstefano.wordpress.com